Menjaga Independensi, Meningkatkan Kompetensi
Pemilu adalah kompetisi memperebutkan suara rakyat untuk mendapatkan jabatan-jabatan politik. Sebagai sebuah kompetisi, pemilu harus diselenggarakan oleh lembaga yang kredibel di mata rakyat maupun peserta. Lembaga penyelenggara pemilu harus independen atas semua kepentingan, agar keputusan yang diambilnya semata-mata demi menjaga kemurnian suara rakyat. Pemilu merupakan perhelatan politik yang kompleks untuk mengonversi suara rakyat menjadi kursi, sehingga penyelenggara pemilu harus terdiri dari orang-orang profesional: mendapatkan gaji cukup, memiliku pengetahuan dan ketrampilan khusus, serta menaati kode etik.
Standar Internasional Kelembagaan Penyelenggara Pemilu
Standar internasional pemilu demokratis menuntut adanya jaminan hukum, bahwa lembaga penyelenggara pemilu harus bisa bekerja independen dan profesional. Independensi penyelenggara pemilu merupakan hal penting, karena penyelenggara pemilu membuat dan melaksanakan keputusan yang dapat memengaruhi hasil pemilu. Lembaga tersebut harus bekerja dalam kerangka waktu cukup, memiliki sumberdaya mumpuni, dan tersedia dana memadai. Jaminan independensi kelembagaan harus dituangkan dalam undang-undang; demikian juga dengan netralitas dan profesionalitas jajaran penyelenggara pemilu.
Penyelenggara Pemilu dalam Pusaran Permainan Politik
Indonesia adalah satu dari sedikit negara yang memiliki undang-undang tersendiri untuk mengatur penyelenggara pemilu. Bahkan dalam kurun lima tahun saja sudah lahir dua udang-undang penyelenggara pemilu: UU No. 22/2007 dan UU No. 15/2011. Hal ini menunjukkan betapa strategis posisi dan fungsi penyelenggara pemilu sehingga perlu dua undang-undang untuk menjaganya. Semua itu tidak lepas dari sejarah politik Orde Baru yang menunjukkan peran penting Lembaga Pemillihan Umum (LPU) dalam memenangkan Golkar, sehingga periode pasca-Orde Baru selalu ada kekuatan politik yang mengintervensi Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Penyelenggara Pemilu 2014: Memulihkan Kembali Kepercayaan
Kredibilitas KPU jatuh pada penghujung Pemilu 2009: kinerjanya mengecewakan, kemandiriannya dipertanyakan. DPR menggunakan hak interpelasi untuk menyelidiki banyaknya warga negara yang tidak bisa memilih, lalu mengganti UU No. 22/2007 dengan UU No. 15/2011. Mereka tidak percaya lagi pada kelompok nonpartisan sehingga undang-undang baru mempersilakan orang partai masuk menjadi penyelenggara pemilu. Pasal ini memang dihapus oleh MK, namun pembengkakan kelembagaan pengawas dan penegak kode etik – yang awalnya diniatkan untuk menampung orang-orang partai – tidak bisa dianulir. Ini kesempatan kedua bagi kelompok nonpartisan untuk membuktikan diri mampu menjadi penyelenggara pemilu yang independen dan profesional.
Penyelenggara Pemilu 2014: KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
Penyelenggara Pilkada 2010-2013: Menjadi Tergugat di MK
Jatuhnya kredibilitas KPU selaku penyelenggara Pemilu 2009 berimbas pada eksistensi KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota yang hendak menyelenggarakan pilkada sepanjang 2010-2013. Sebagai bagian dari KPU, mereka diragukan independensi, netralitas dan kompetensinya. Inilah alasan awal mengapa pasangan calon yang kalah dalam pilkada di hampir semua daerah, mengajukan gugatan hasil pemilu ke MK. Kesempatan mempersoalkan putusan hasil pilkada menjadi terbuka, ketika MK memperluas ruang gugatan: manakala peserta menemukan indikasi adanya pelanggaran yang masif, sistematis dan terstruktur, peserta dipersilakan mengajukan gugatan.
Penyelenggara Pilkada 2010-2013: KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Panwas Pilkada Provinsi, Panwas Pilkada Kabupaten/Kota
Penyelenggara Pemilu 2009: Menghadapi Masalah Kredibilitas
Pemilu 2009 akan dikenang sebagi pemilu terburuk pasca-Orde Baru. Harapan banyak pihak, bahwa KPU akan lebih independen dan lebih profesional setelah ditopang UU No. 22/2007, luruh setelah hasil seleksi calon anggota KPU diumumkan. Sebab, tim seleksi bentukan Presiden SBY menghasilkan orang-orang yang tidak memiliki rekor baik dalam mengurus pemilu, sehingga sejak dilantik KPU menghadapi masalah kredibilitas. Setelah pemilu selesai, tidak ada yang bisa menolak hasilnya, tetapi legetimasinya selalu dipertanyakan karena banyak pemilih yang tidak bisa memilih.
Penyelenggara Pemilu 2009: KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota
Penyelenggara Pilkada 2005-2008: Terbelit Politik Anggaran
Meskipun UU No. 12/2003 anggota KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota diseleksi dan dilantik oleh KPU, namun UU 32/2004 yang mengatur pilkada memasukkan KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota ke dalam domain otonomi daerah. Putusan MK memang telah memutus ketergantungan KPU daerah kepada DPRD dan kepala daerah, namun karena pilkada dibiaya oleh APBD, maka KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota terbelit politik anggaran yang dimainkan oleh DPRD dan kepala daerah. Sebagian KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota berhasil menjaga kemandiriannya dari belitan ini, namun banyak yang gagal, dan malah menyerahkan diri untuk menjadi tim pemenangan pilkada.
Penyelenggara Pilkada 2005-2008: KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Panwas Pilkada Provinsi, Panwas Pilkada Kabupaten/Kota
Penyelenggara Pemilu 2004: Berhasil dan Berakhir Tragis
Perubahan UUD 1945 tak hanya memberi jaminan konstitusional atas kemandirian penyelenggara pemilu, tetapi juga menambah beban dan kerumitan penyelenggaraan pemilu. KPU harus menyelenggarakan pemilu presiden, sesuatu yang belum pernah diselenggarakan. KPU juga harus mengatur dan melaksanakan pemilu legislatif yang semakin kompleks: pemilihan DPR/DPRD dengan sistem proporsional daftar terbuka, dan pemilihan DPD dengan sistem mayoritarian. Pemilu dengan volume pekerjaan yang besar dan kompleks itu berhasil diselenggaran dengan baik. Namun nasib KPU berakhir tragis: ketua, anggota dan staf masuk penjara karena korupsi.
Penyelenggara Pemilu 2004: KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Panwas Pemilu, Panwas Pemilu Provinsi, Panwas Pemilu Kabupaten/Kota
Penyelenggara Pemilu 1999: Menggantung Suara Rakyat
Setelah Soeharto turun jabatan, Presiden Habibie segera menggelar pemilu demokratis. Namun tuntutan membentuk komisi pemilu independen tidak dikabulkan DPR dan pemerintah sehingga KPU diisi oleh wakil-wakil pemerintah dan partai politik peserta pemilu. Pemilu yang menggunakan sistem lama berlangsung tertib dan aman. Rakyat antusias memberikan suara, tetapi setelah suara direkap pada tingkat nasional, wakil-wakil partai politik di KPU berulah. Mereka menolak mengesahkan hasil pemilu, meskipun dalam proses penghitungan suara dari TPS hingga provinsi tidak banyak komplin. Mereka menggantung hasil pemilu, sehingga mendorong Presiden Habibie untuk mengambil alih pemilu dan mengesahkan hasilnya.
Penyelenggara Pemilu 1999: KPU, Panitia Pemilihan Indonesia, Panitia Pemilihan Provinsi, Panitia Pemilihan Kabupaten/Kotamadya, Panwaslu Pusat, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kotamadya
Penyelenggara Pemilu Orde Baru: Menjaga Kemenangan Golkar
Rezim militer Orde Baru sesungguhnya antipartai politik. Tetapi mereka tidak bisa mengabaikan peran partai politik dalam menjalankan kekuasaan. Bagaimanapun partai politik adalah instrumen penting untuk meligitimasi kekuasaan melalui pemilu. Yang dilakukan rezim Orde Baru adalah membentuk partai politik dan memastikan bahwa partai politik bentukan itu akan selalu memenangkan pemilu. Partai politik itu bernama Golkar, yang mendapat dukungan sejumlah ormas dan birokrasi. Untuk menyelenggarakan pemilu, pemerintah membentuk LPU yang dipimpin Mendagri dan dipenuhi jajaran birokrasi. Mereka inilah yang bekerja secara sistematis memenangkan Golkar dalam setiap pemilu Orde Baru.
Penyelenggara Pemilu Orde Baru: LPU Pemilu 1971, LPU Pemilu 1977, LPU Pemilu 1982, LPU Pemilu 1987, LPU Pemilu 1992, LPU Pemilu 1997, Panwaslak Pemilu Pusat 1982, Panwaslak Pemilu Pusat 1987, Panwaslak Pemilu Pusat 1992, Panwaslak Pemilu Pusat 1997
Penyelenggara Pemilu 1955: Berlaku Jujur dan Sederhana
Sukses Pemilu 1955 yang diselenggarakan oleh Panitia Pemilihan Indonesia yang terdiri dari orang-orang partai politik, sering ditunjuk pengurus partai politik pasca-Orde Baru, sebagai bukti bahwa orang-orang partai politik bisa bersikap independan, netral dan profesional dalam menyelenggarakan pemilu. Yang sering mereka lupakan adalah fakta bahwa orang-orang partai politik yang menjadi pantia pemilihan saat itu adalah figur-figur berintegritas: bertindak jujur dan adil sehingga bisa dipercaya, memegang moral politik sehingga jadi panutan, dan berlaku sederhana sehingga terhindar korupsi. Itulah kunci sukses Pemilu 1955 di tengah kesulitan sarana dan prasarana pemilu, serta persaingan sengit antarpartai politik.
Penyelenggara Pemilu 1955: Panitia Pemilihan Indonesia